Direkt zum Hauptbereich

Posts

Es werden Posts vom 2019 angezeigt.

Part IV: Memang

                    Aku pernah terlibat dalam sebuah percakapan, yang sejak saat itu aku mendapatkan kesimpulan sederhana. Pertama, bahwa kita harus cakap untuk memilih, dan yang kedua yaitu, alasan akan selalu ada pada setiap jawaban apapun. Jadi, waktu itu pada akhir tahun sekitar beberapa tahun lalu, aku baru lagi bertemu kawan lama yang aku sendiripun lupa kapan kita terkahir bertemu. Sebuah percakapan random melalui media sosial secara perlahan mengawali keterlibatan kontak kami waktu itu.       Lalu pada awal mula pertemuan, kami banyak berbincang mengenai satu dan lain hal, sehingga perjalanan kami terasa tidak membosankan meskipun banyak sekali tema acak yang disambungkan. Hingga timbul pada sebuah pertanyaan, yang mengharuskan sebuah pilihan mencuat ke permukaan. Pertanyaan yang aku pikir waktu itu adalah sebuah tes anti klimaks yang diajukan untuk menyamaratakan persepsi antara k...

Tanpa Rasa

Mengapa semua harus bertema Disaat alur cerita sudah tak lagi dapat berterima Seringkali berkata diakhiri satu tanda tanya Tanya yang tak pernah berhenti diujung kata Lalu mengapa Bila senja tiap tiap orang merangkak tuk berkata Terpetik kata rayuan yang meradang rindu Tampak raut wajah meriuh malu malu Karna bila bulir banyak menggenang Tertanda ia menyampaikan cerita Tunggulah sampai rintiknya habis membasahi atapmu Karna bila lantas kau mengeluh Pabila rintik hujan membumi Senyummu berubah menjadi dua garis kerutan Yang menggaris lekung ke arah bawah Lalu mengapa Saat langit merah merona Semua nampak berseri bahagia Seakan cerita duka berubah dalam hitungan detik saja Lalu mengapa cerita yang kau punya Terdekap dalam pikirmu Seperti sejarah yang benar ada Namun tiada satu orangpun yang merasa

Perempuan Pencandu Kopi Penulis Sajak

Jemari kanannya sibuk beriuhan Mengguratkan beberapa kata Yang terekspresikan dari pikirannya Membentuk kalimat demi kalimat Mengukir satu paragraf Yang terlukiskan oleh frasa Yang terdecap pada bibirnya Aku terkagum diam dibuatnya Pikirnya yang sederhana Katanya yang membahana dan satuhal yang membuat aku tak bisa melupakannya Dua garis yang menarik senyum manisnya Ditambah lesung pipi yang menambah elok parasnya Ialah perempuan itu   Perempuan pecandu kopi dan penulis sajak

Part III: Mengudara

Asap mengepul, menjalar keluar melalui celah Beriringan mengehantam lalu langan angin Mengudara, melepaskan setiap pekat hitamnya Bebas melayang, berhamburan tak menentu       Aku teringat kala doa yang pernah kupendam sebelumnya, pergi menembus langit dan kembali pada genggam dua tangan yang sedang menjulur terbuka. Doaku mengudara, memenuhi satu mimpiku yang sampai saat ini takan kulupa. Mungkin ada pula doa lainnya yang berjalan sama, mengalur sebuah rangkaian perjalanan panjang jauhnya sampai ia mengudara hingga menepi pada sang Pencipta.       Beberapa kali aku lupa akan hal itu, doaku memang kubiarkan mengudara, tapi tidak dengan cara yang sama. Lewat tangan manusia harapanku disimpan dan terdiam sendirinya. Meski terkadang aku teringat cara lama, sebagai manusia diriku tak ayal pelupa. Membiarkan kejadian terus-terusan berulang pada tumpuan tanpa asa.       Kali ini aku membiarkan apapun yan...

Part II: Maaf

      Hari ini aku patut untuk bersyukur kepada-Nya, selain hujan yang terus mengguyur semenjak sore tadi dan karenanya aku bisa selalu berdoa, mendambakan sesuatu hal yang kunantikan. Aku tersenyum sepanjang malam, terutama saat perjalananku menuju rumah. Entah untuk alasan apapun aku dibuat tersenyum saat ini, terima kasih semesta.       Berbeda rasanya dengan kemarin, kala pikiranku tak tersusun rapi pula tak menentu. Aku tersadar, terkadang aku bisa terbang sejauh mungkin atau justru tenggelam sampai ke dasar. Ya, mood -ku selalu berubah-ubah   dengan alasan berbeda dan memiliki caranya tersendiri       Tapi sampai sejauh ini ada beberapa hal yang tak pernah mengubah prinsipku secara mendasar, beberapa termasuk salamku pada langkah bersama yang terhalang beribu-ribu benteng yang kadang aku tak tahu apa namanya benteng itu. Hanya saja selalu berjarak antara semuanya, terutama tentang perasaanmu p...

Part I: Memulai Kembali

   Tahun 2018 lalu bisa dikatakan tahun produktif, karna aku banyak menulis kala itu setelah sekian purnama yang berlabuh. Salah satu sahabat sempat berkata pada satu pertemuan yang aku lupa entah dimana dan kapan. Namun, kata-katanya melekat sampai sekarang ini. Kurang lebihnya seperti ini, “Menulis itu membutuhkan pribadi melankolis, maka pertahankanlah kegalauanmu.” Aku sejujurnya tidak pandai merangkai kata terutama melengkapi sebuah cerita. Terakhir aku menulis panjang itu pada saat aku menulis karya ilmiah semasa kuliah, itupun masih banyak coretan karna gaya dan tata bahasa.       Awalnya sedikit ragu, karna banyak kata-kata yang datang dengan sendirinya lalu pergi bersama angin yang berhembus menemani perjalanan yang ku lalui. Aku berusaha untuk mengumpulkan kata demi kata dan merangkainya menjadi sebuah alur cerita, namun ternyata itu sulit gusarku. Hingga aku mencoba cara lainnya, aku menulis kata tapi ia tidak terangkai menjadi sesuatu...

Perjalanan Rasa

Lama rasanya Simpul ini tidak mengait Bersama temali yang tak berujung Lama rasanya Ketika alur cerita beriringan bersama roda kendaraan yang kutumpangi Ia tampak berputar sampai terhenti pada tujuan yang kuhendaki Lama rasanya Saat aku datang tidak dengan perasaan ini Kala melihat jendela bersama musik dan lembar buku baru Nampaknya lebih menarik dari sekadar secangkir kopi yang lama tak ku teguk Aku teringat Manakala rasa yang membawakan lelah Ketika raga terus berjalan dan tersenyum hanya karna melihat cemara yang seolah olah melambaikan batangnya di jalanan Dan itu sama Setiap kali aku mencari perjalanan baru Rasaku sama dan selalu lama Lama tuk tak mengagumi setiap eloknya jendela Memang ia masih lama tak bisa menahan kata yang tertautkan hingga mengalir menjadi rasa Mungkin sekali lagi Perjalananku akan ada yang lebih lama Karna akan lebih banyak lagi rasa yang harus kutemukan bahkan kucari Biarlah semua berjalan...

Satu Waktu di Tengah Malam

Dari ratusan detik yang tlah usai Tunjukan masam terselimut jemari Kaca tersayat tehembus gardu Menyingsingkan rasa terdahulu Aku datang membawa cerita Membaca dalam tawa yang lalu berkunjung hanya karna satu kata Aku bertanya tanya Namun bukan pada rumput yang ditanam di belakang rumah tua Lagi semua terjebak dalam logika Menggantikan rasa Di suatu senja yang sedang tak berwarna Di suatu kota Benarkah aku kembali dengan rasa yang sama Sedikit kecamuk berputar dan bercampur aduk Mempertanyakan setiap langkah yang berjalan Untuk memulai bertualang bersamanya Sampai aku ada pada takut akhirnya Kita terjebak pada kecanggungan Hingga diripun sulit tuk menyembuhkan Dari luka karna saling yang terbenam Namun petualangan yang takan pernah berputar Takan mampu menghentikan langkah perlahan kedua kaki Sampai ia tahu dimana pijakan ini kan berhenti Perjalanan hanya satu cara menggenggam asa Kita hanya takan mau tuk melepasnya N...

Aku

Aku pada ketidakaturan Penuh majas yang terangkai Meruncingkan dari kata yang ada Menggantinya makna dari kalimat yang tertanda Aku berdiri diujung tanda tanya Terselipnya beberapa koma Sampai ia bercerita Titik dua tak berujung apa apa Sampai semuanya terangkai Satu demi satu abjad menjadi kata Kata menjadi frasa Frasa menjalin makna Mengungkapkan dibalik rasa yang tertata Berkata ditumpu dibalik ketidakmampu Seolah bibir tak sanggup tuk menyapa Karna ia terbujur kaku, dan lalu membeku Lama lama logika ku bertanya pada rasa Entah untuk apa siapa dimana dan mengapa Pertanyaan yang berujung nanti Mendapati jawaban karna tidak tahu

Kamu dan Malam

Kamu adalah malam Diam dan dingin itu kamu Angin lebih rendah hatinya Secara perlahan ia mendekap Dan lalu menyapa Meskipun dingin datang bersamaan Tapi dinginnya itu bukan datang dari angin Itu kamu Yang membiarkan puisi puisi ini Tertuliskan sampai ribuan kata Berujung pada tak tau tuk apa dan mengapa Apa kamu sama Merindu bersama waktu Tau ku pasti jawabmu Tetap pada kata utama Dan pura pura tidak tahu Rindu kini hanya frasa yang terlalu hiperbola Berlebihan saja Tapi ini makna dan rasa yang sebernya Tak lagi rekasaya

Halo Apa Kabar

Lalu saat pijakan terasa tak bertumpu Apa kabar pada kelabu Perlahan cerita sendu menguap Dari kemilau sore yang dirundung mendung Lalu apa kabar padanya senja Saat cahaya perlahan memudar di udara Tak tergoreskan bahkan hanya satu warna Yang ada hanya jingga dalam bayangan mata Lalu apa kabar padanya kata Mengikisnya ribuan abjad yang tersusun Seakan tanpa ada arti lagi yang terjahit Mengumpulkan satu persatu dibalik cerita Lalu apa kabar padanya hujan Mengenang cerita yang menggenang Rintiknya turun perlahan pada daratan Membasahi pikir yang telah dibuyarkan logika Lalu anginpun datang menyapa Tuk hanya sekadar menerima banyaknya rupa Dan angin membawa sebuah berita Tuk hanya datang berkunjung Dan berkata Halo lama tak berjumpa

Tersamarkan

Karna bila bulir banyak menggenang Tertanda ia menyampaikan cerita Tunggulah sampai rintiknya habis membasahi atapmu Perlahan mereka datang mengetuk Jendela kayu bersama kaca Menyapa bersama kata yang halus Dibalik rasa yang tertinggal mengudara Lantas bilau kau  mengeluh Pabila rintiknya tak berkunjung Duka yang kan kau rasa Karna ia tak hanya datang Meninggikan logika Makna membuyarkan sendirinya Lalu warna kan datang di akhir cerita Meski tak perlu kau menunggunya

Saat Rasa Mengait

dan tetibanya ia berhenti mencari jalan pulang di akhir cerita lalu ia bertanya pada jemari di ujung pangkal tali yang mengaitnya dari satu tiang pada tiang lain bukan kata yang ia dapat hanya saja angin menggiringnya tanpa arah yang tak menentu seorang tabib yang telah lama pergi datang da lalu ia menjawab tanya dari seorang lelaki muda anak yang terlahir dari rahim ibunya mentari terbenam di ufuk barat lalu kau masih ragu akan cinta yang tak bertuan cerita pilumu membelah rasa sepi saat perjalanan menuju semak belukar tak bertumpu pada temu

Dilema

Pada sekelompok kilau Cahaya yang memancar Jalanan bersemayam Bersembunyi dari angin yang datang Pikir berlalu lalang Lalang yang terdiam dari sepinya ramai Ramai yang terhalang kokohnya jarak Jarak yang membentangkan antara pikir dan bayang Dilema Ia bersahabat dengan carutnya kata Tertahan keraguan makna Yang mengikis dari ketidakasadaran rasa Lingkar berliku Memutarkan jarum jam pada arah yang sebaliknya Dan bergelombang dengan sendirinya Api nampak berkobar dalam bayang semu Tapi hujan datang sigap menyapanya Dan perlahan memadamkan kalutnya ragu

Dan

Pernah ku bertanya Seiring rupa dari kata yang tumpul   tak terbaca Merayu sedikit cerita Dalam hujan yang berjatuhan Mendenting pada kata Hingga makna tak sempat ada warna Titik terangkai setelah tanda koma Didapatnya di akhir cerita satu tanda tanya Pilu terbaca dengan terbata Bisu menjadi titik dua Tersembunyinya ungkapan Yang tertahan dibaliknya Tampak kasat oleh mata Lalu ia berkata Apakah hanya ada cerita hujan yang tertanam Atau kau sebut ia sayang dengan menggantinya menjadi senja Yang kadang kau nyanyikan dengan keresahan Dan bimbang pada kepiluan Suara angin mendesir Membawanya ia pesan dari ujung garis pantai Yang terbawa dan terhanyutkan Menggumpal menjadi rangkaian tebalnya air membeku menjadi awan Dan lalu perlahan menetes Lantas bila saja kau air hujan Kau takan ku biarkan jatuh pada bumi Hingga mereka mencarimu tuk membasahi yang pikir keringnya itu Biarkan kata itu terangkai dibalik padatnya gumpa...