Aku pernah terlibat dalam sebuah
percakapan, yang sejak saat itu aku mendapatkan kesimpulan sederhana. Pertama,
bahwa kita harus cakap untuk memilih, dan yang kedua yaitu, alasan akan selalu
ada pada setiap jawaban apapun. Jadi, waktu itu pada akhir tahun sekitar beberapa
tahun lalu, aku baru lagi bertemu kawan lama yang aku sendiripun lupa kapan
kita terkahir bertemu. Sebuah percakapan random
melalui media sosial secara perlahan mengawali keterlibatan kontak kami waktu
itu.
Lalu pada awal mula pertemuan, kami banyak
berbincang mengenai satu dan lain hal, sehingga perjalanan kami terasa tidak
membosankan meskipun banyak sekali tema acak yang disambungkan. Hingga timbul
pada sebuah pertanyaan, yang mengharuskan sebuah pilihan mencuat ke permukaan.
Pertanyaan yang aku pikir waktu itu adalah sebuah tes anti klimaks yang
diajukan untuk menyamaratakan persepsi antara kami berdua.
Dia bertanya secara hati-hati dengan kata
lugasnya, “Mal, kalo milih, mending jadi orang baik atau orang pinter?”,
sebelum menjawabnya aku sedikit heran, mengapa dia tiba-tiba menanyakan itu.
“Lah kenapa emangnya?” sontakku sambil terheran. “Jawab aja!’ pintanya. Gestur
tanganku yang tidak hentinya bergerak sambil sisi lainnya memegang stir mencoba
untuk menjawab lebih cepat dibandingkan bibirku.
“Kayanya aku mah mendingan jadi orang baik
aja deh”, sambungku begitu. Namun, ia nampak tidak puas dengan jawaban yang
diterimanya. “Kalo aku sih mending jadi orang pinter Mal, soalnya kita bisa
jadi tau sama siapa kita harus baiknya.” Akupun nampak tidak setuju dengan
jawabannya, meskipun ada satu sisi yang ingin dia sisipkan pada makna kalimat
tersebut. Yakni kehati-hatian. Mungkin dia bermaksud bahwa berbuat baik itu
adalah sebuah proses yang muncul karna hati merasa bahwa ada sesuatu hal yang
harus dilakukan pada sekitar, namun ada satu kecerdasan yang menghalangi hingga
nampak mata diharuskan jeli dan teliti sebelum berbuat baik pada orang lain.
Dari adegan sebuah film yang pernah
kutonton, untuk menemuka titik temu diujung pembicaraan kami. Aku mencoba untuk
melakukan jenis percakapan yang sama. Aku berusaha untuk menjawab frase yang
berlawanan dengan cukup hati-hati untuk tetap tidak mematikan sesi diskusi
kami. “Perasaan kalo aku jawab apa juga, pasti bakal ada alesan dari setiap
pilihannya itukan. Dan emangnya kalo baik perlu alesan?” Jawabku
mempertegasnya. Ia hanya mengeluarkan kalimat terakhirnya “Bener juga sih ya”.
Percakapan kamipun berakhir dengan penutup tertawa dari kami berdua.
Pada dasarnya alasan selalu bisa dicari di
setiap jawabannya, mau seberapa banyak opsinya. Misal nih, kalian mau milih
opsional dari jawaban A atau B itu tadi gada yang salah sebenernya. Alasan itu
bisa dibuat sedemikian rupa, mau sampe jawaban opsional Z ataupun mau jawaban
itu bener atau salah sekalipun, selalu ada pembenaran dibalik alasan yang kita
perbuat.
Maka kami mengakhiri tema tersebut dengan saling
menghargai pilihan satu sama lainnya dengan jawaban kami masing-masing. Nah,
disitu aku melihat sebuah misal, setiap orang itu punya cara kerangka berpikir,
yang kadang itu berkonfrontasi sama pemikiran kita. Kadang, cara orang menyatakan
ataupun mendeskripsikan suatu hal itu bisa jadi kontempolasi yang kalo
diibaratin itu sebuah pohon. Kenapa? Ia tumbuh menjulang tinggi dengan cabang
yang dimilikinya itu berkelakar beda-beda. Ada yang panjang, pendek dan lain
sebagainya. Pun sama dengan kita selaku manusia. Sifat keheterogenan itu bakal
muncul dari diri setiap orang, meskipun mereka berasal dari dasar pemikiran
awal yang sama.
Nah, dengan keanekaragaman yang selalu
melekat sama kita. Satuhal yang susah itu adalah kita hormat sama pemikiran dan
keputusan yang orang lain ambil. Karna kadang sifat alamiah kita selaku manusia
itu muncul, ketika banyak hal yang ga sesuai sama kemauan kita. Emang sih,
semua pasti berlindung dibalik ribuan alasan yang selalu bisa dicari-cari. Tapi
ya seperti yang dikatakan tadi, alasan itu bisa dibuat sedemkian rupa. Jadi ya
orang pasti ngerasa mereka yang paling bener diantara yang lain.
Semuanya memang bakal sulit ditebak, sama
kaya gaya bahasa dan konten tulisan-tulisan ini. Ya, memang begitulah hidup . .
.
Kommentare
Kommentar veröffentlichen